KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memiliki potensi untuk cepat tumbuh dan mempunyai sektor unggulan yang dapat mengerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan sekitarnya dan memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya. Penetapannya lokasi dan Badan Pengelolanya dilakukan melalui Keputusan Presiden. Dasar Hukum Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia (DP KTI) merupakan kebijakan embrio terbentuknya KAPET. Dewan ini bertugas menggagas dan merumuskan konsepsi pengembangan KTI, termasuk kebijakan yang diperlukan untuk mendukungnya. Sebagai wujudnya, tersusun Keputusan Presiden No. 89 Tahun 1996 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 1998 tentang Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Berdasarkan Keputusan Presiden ini, kemudian lahir Keputusan Presiden lainnya tentang penetapan lokasi KAPET, yaitu 13 KAPET, 12 KAPET di KTI dan 1 KAPET di KBI. 1. Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun 1996 tentang Pembentukan KAPET Biak. 2. Keppres 11/1998 tentang Pembentukan KAPET Batulicin. 3. Keppres 12/1998 tentang Pembentukan KAPET Sasamba. 4. Keppres 13/1998 tentang Pembentukan KAPET Sanggau. 5. Keppres 14/1998 tentang Pembentukan KAPET Manado Bitung. 6. Keppres 15/1998 tentang Pembentukan KAPET Mbay. 7. Keppres 164/1998 tentang Pembentukan KAPET Parepare. 8. Keppres 165/1998 tentang Pembentukan KAPET Seram. 9. Keppres 166/1998 tentang Pembentukan KAPET Bima. 10. Keppres 167/1998 tentang Pembentukan KAPET Batui. 11. Keppres 168/1998 tentang Pembentukan KAPET Bukari. 12. Keppres 170/1998 tentang Pembentukan KAPET DAS Kakab. 13. Keppres 171/1998 tentang Pembentukan KAPET Sabang Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, pada akhirnya kebijakan KAPET disempurnakan kembali melalui Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000. Definisi Berdasarkan Keppres 89/1996, yang dimaksud dengan KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan :§ Memiliki potensi untuk cepat tumbuh;§ Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/atau§ Memiliki potensi pengembalian investasi yang besar. Tujuan dan Sasaran Adapun tujuan dari pembentukan KAPET adalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah Indonesia dengan memberikan peluang kepada dunia usaha agar mampu berperan serta dalam kegiatan pembangunan di KTI yang relatif tertinggal dan beberapa lainnya di KBI. Inti dari pendekatan KAPET adalah mendorong terbentuknya suatu kawasan yang berperan sebagai penggerak utama (prime mover) pengembangan wilayah. Pemilahan kawasan-kawasan pembangunan dengan menentukan prioritas atas suatu kawasan merupakan strategi agar percepatan pembangunan dapat dilakukan. Berdasarkan Keppres 9/1998, kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usah adi dalam KAPET diberikan peralukan di bidang Pajak Penghasilan, berupa :a. Pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang modal, bahan baku, dan peralatan lain, yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi.b. Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat di bidang Pajak Penghasilan.c. Kompensasi kerugian, mulai tahun berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 tahun.d. Pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Dividen, sebesar 50% dari jumlah yang harus seharusnya dibayar.e. Pengurangan biaya sebagai berikut :- Berupa natura yang diperoleh karyawan, dan tidak diperhitungkan sebagai penghasilan karyawan.- Biaya pembangunan dan pengembangan daerah setempat, yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang fungsinya dapat dinikmati umum. Selain perlakuan perpajakan, dengan memperhatikan kondisi masing-masing KAPET, kepada pengusaha KAPET dapat diberikan perlakuan perpajakan tambahan berupa tidak dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atas : a. Pembelian dalam negeri dan/atau impor barang modal dan peralatan lain oleh pengusaha di KAPET, yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi. b. Impor Barang Kena Pajak oleh pengusaha di KAPET, untuk diolah lebih lanjut. c. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh pengusaha di luar KAPET kepada pengusaha di KAPET, untuk diolah lebih lanjut. d. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah lebih lanjut, antarpengusaha di dalam KAPET yang sama atau oleh pengusaha di KAPET lain kepada pengusaha di KAPET. e. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah lebih lanjut, oleh pengusaha di KAPET kepada pengusaha di Kawasan Berikat atau oleh pengusaha di KAPET kepada pengusaha di daerah pabean lainnya, dan hasil pekerjaan tersebut diserahkan kembali kepada pengusaha di KAPET. f. Penyerahan Jasa Kena Pajak oleh pengusaha di luar KAPET kepada atau antar pengusaha di KAPET, sepanjang Jasa Kena Pajak tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang dilakukan di KAPET. g. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean maupun dalam daerah pabean oleh pengusaha di KAPET, sepanjang Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang dilakukan KAPET. h. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean oleh pengusaha di KAPET, sepanjang Jasa Kena Pajak tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dilakukan di KAPET. Kelembagaan Kelembagaan KAPET di pusat berbentuk Badan Pengembangan (Bapeng) KAPET, yang diketuai oleh Menko Perekonomian dengan Wakil Ketua adalah Menteri Kimpraswil, serta Sekretaris adalah Menteri Bappenas. Anggota Bapeng KAPET adalah Kementerian/Lembaga terkait, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Pertanian dan Kehutanan, Menteri Perindag, Menteri Perhubtel, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri ESDM, Menteri Dalam Negeri dan Otda, Menteri Budpar, Menteri Muda Urusan PPKTI, dan Kepada BPN. Tugas Bapeng KAPET adalah : a. Memberikan usulan kepada Presiden untuk kawasan yang akan ditetapkan sebagai KAPET setelah memperhatikan usulan dari Gubernur yang bersangkutan. b. Merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional untuk mempercepat pembangunan KAPET. c. Merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk mendorong dan mempercepat masuknya investasi dunia usaha di KAPET. d. Mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan pembangunan KAPET. e. Memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan KAPET. Sementara untuk di tingkat daerah, kelembagaan KAPET adalah Badang Pengelola (BP) KAPET. Ketua BP KAPET adalah Gubernur dan anggotanya meliputi tenaga ahli profesional. Tugasnya adalah membantu Pemerintah Daerah dalam memberikan pertimbangan teknis bagi permohonan perizinan kegiatan investasi pada KAPET. Sumber Pembiayaan dan Pendapatan Dalam Keppres 150/2000, segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas Bapeng KAPET dan BP KAPET dibebankan kepada APBN. Sementara, untuk pengelolaan dan pembangunan di KAPET dibebankan kepada APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, serta sumber-sumber dana lain yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kendala dan Isu Permasalahan Pengembangan KAPET a. Kelembagaan pengelola dan pelaksana : kurangnya komitmen dan konsistensi implementasi kebijakan KAPET, kurang efektifnya Keppres 150/2000, BP KAPET tidak memiliki kewenangan eksekuting, kurangnya dukungan kementerian dan SKPD terkait. b. Kebijakan insentif fiskal dan non fiskal : tidak menariknya insentif fiskal yang diberikan pemerintah dalam upaya menarik investor, belum memadainya kondisi sarana prasarana. c. Iklim investasi belum kondusif : proses perijinan usaha yang berbelit-belit, lambat, mahal, tidak transparan, banyaknya Perda yang menghambat pengembangan dunia usaha seperti pungutan liar, pungutan berganda, dan sebagainya. Kondisi tersebut mengakibatkan lambatnya perkembangan dunia usaha dalam mendorong pengembangan industri sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi. d. Terbatasnya aksessibilitas pendukung kelancaran pengembangan usaha di kawasan seperti kurangnya sarana prasana/infrastruktur, tidak berkembangnya jaringan pasar, kurangnya akses permodalan bagi pelaku usaha, kurangnya transfer teknologi bagi pelaku usaha sehingga produk kurang berkualitas dan kurang efisien, data dan informasi yang diperlukan tidak akurat dan tidak lengkap.
Biaya Kerugian Penghapusan Piutang menurut pajak Pasal 6 ayat 1 huruf h Undang-undang PPh mengatur bahwa piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (dan memenuhi syarat tertentu) dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak (sebagai deductable expenses). Syarat-syarat yang ditetapkan agar biaya kerugian penghapusan piutang tersebut dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah sbb : Dalam penjelasan pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh dijelaskan bahwa : “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba-rugi komersial dan telah melakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir. Yang dimaksud dengan penerbitan tidak hanya berarti penerbitan berskala nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya”. Berdasarkan penjelasan pasal 6 ayat 1 tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan agar piutang yang nyata-nyata tidak dapat dihapus dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah untuk membuktikan bahwa wajib pajak (kreditur) telah melakukan upaya yang maksimal atau terakhir dalam melakukan penagihan piutangnya. Sebagai petunjuk pelaksanaan dari pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh, pada tanggal 10 Juni 2009 Menteri Keuangan telah menetapkanPMK-105/PMK.03/2009 (“PMK-105”) tentang “Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto” yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2009. Berikut ini hal-hal yang diatur dalam PMK-105 tersebut : 2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih adalah piutang yang timbul dari transaksi bisnis yang wajar sesuai dengan bidang usahanya, yang nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak. 4) piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang timbul dibidang usaha bank, lembaga pembiayaan, industri, dagang dan jasa lainnya dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak. 5) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut tidak termasuk piutang yang berasal dari transaksi bisnis dengan pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak. 7) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang diserahkan kepada Direktorat Jenderal Pajak harus mencantumkan identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. 8 ) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf c PMK-105 (Point 5 huruf c diatas) dilakukan dengan cara melampirkan : 9) Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan bukti/dokumen tersebut harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Penghapusan Piutang Debitur Kecil 1) Untuk dapat membebankan biaya kerugian piutang (Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih) atas debitur kecil dan debitur kecil lainnya tidak diperlukan syarat-syarat seperti tersebut pada point 5 diatas. 3) Piutang yang nyata-nyata tidak ditagih kepada debitur kecil lainnya adalah piutang debitur kecil lainnya yang jumlahnya tidak melebihi Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
1) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3) Penerbitan umum atau khusus adalah penerbitan yang meliputi :
6) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto, sepanjang memenuhi persyaratan :
2) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil adalah piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), yang merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:
4) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 harus dilampiri daftar nominatif yang berisi identitas debitur berupa nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat dan jumlah Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
Sehubungan dengan adanya kemudahan PemberianAngsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajakmaka tanggal 24 September 2008 Dirjen Pajak telah mengeluarkan aturan yang baru yang mengatur tentang Tata Cara Pemberian Angsuran dan Penundaan PembayaranPajak dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ/2008. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak NomorPER-38/PJ/2008 adalah sebagai berikut: Jatuh Tempo Pembayaran Permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor PelayananPajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang masih harus dibayar, yang selanjutnya dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini disebut utang pajak, daIam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran kecuali Surat Tagihan Pajak, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Urnurn dan Tata Cara Perpajakan sebagairnana tetah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Tata Cara Permohonan a. jumlah pernbayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau b. jumlah pembayaran pajak yang dirnohen untwk ditunda dan jangka waktu penundaan. Jaminan Jangka Waktu Angsuran Angsuran atas utang pajak sebagaimana dirnaksud dafarn Pasal 1 ayat (3) dapat diberikan untuk: Jangka Waktu Penundaan Penundaan atas utang pajak dapat diberikan untuk: Jangka Waktu Keputusan dari Kantor Pelayanan Pajak Setelah mempertimbangkan alasan berikut bukti pendukung yang diajukan oleh Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal dlterimanya permohonan. Keputusan dapat berupa: Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetvjui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan Surat Keputusan Persetujuan Angsuran Pembayaran Pajak atau Surat Keputusan Persetujuan Penundaan Pembayaran Pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.